Minggu, 11 April 2010

.....makalah kewarganegaraan....

PENGARUH GLOBALISASI DALAM BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN BANGSA

Milki Rijal Ashari – 1209018 – Tehnik Informatika

A. Pendahuluan

Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara, tidak terkecuali Indonesia. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan kepentingan antar-bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batas- batas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi kepentingan masing- masing bangsa dan negara. Di bidang ekonomi terjadi persaingan yang semakin ketat, sehingga semakin mempersulit posisi negara-negara miskin. Sementara itu dalam bidang politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan terjadi pula pergeseran nilai. Misalnya, globalisasi di bidang politik tampak, bahwa de- mokrasi dan HAM telah dijadikan oleh dunia internasional untuk menentukan apakah negara tersebut dinilai sebagai negara beradab atau bukan.

B. Latar belakang masalah

Dengan masuknya Indonesia pada era Globalisasi, pengaruh apa saja yang didapatkan? Negatifkah atau positif? Lalu bagaimana cara indonesia menyikapinya? Makalah ini akan sedikit memaparkan kepada pembaca sekalian tentang pengaruh positif dan negatif dari sebuah globalisasi terhadap berbagai aspek kehidupan bernegara.

C. Pembahasan

Sebelum kita banyak mengenal lebih jauh tentang globalisasi serta pengaruhnya dalam berbagai hal, mari kita perhatikan definisi-definisi globalisasi itu sendiri.

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Globaliasi dapat diartikan sebagai proses masuknya ke ruang lingkup dunia. b. Globalisasi adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara dan elemen- elemennya yang terjadi akibat dan perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi interna- sional. c. Globalisasi adalah proses, di mana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. d. Globalisasi adalah proses meningkatnya aliran barang, jasa, uang dan gagasan melintasi batas-batas negara. e. Globalisasi adalah proses di mana perdagangan, in- formasi dan budaya semakin bergerak melintasi batas negara. f. Globalisasi adalah meningkatnya saling keterkaitan di antara berbagai belahan dunia melalui terciptanya proses ekonomi, lingkungan, politik, dan pertukaran kebudayaan. g. Globalisasi merupakan gerakan menuju terciptanya pasar atau kebijakan yang melintasi batas nasional.

Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bansa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bagi bangsa-bangsa diseluruh dunia. (menurut Edison A. Jamli dkk. Kewarganegaraan. 2005)

Sartono Kartodirjo berpendapat bahwa proses globalisasi sebenarnya merupakan gejala sejarah yang telah ada sejak jaman prasejarah. Beberapa contoh antara lain bangsa-bangsa dari Asia ke Eropa, ke Amerika, dari Asia ke Nusantara, dan lain-lain. Berdasarkan tinjauan sejarah, Indonesia sebenarnya telah lama mengalami proses globalisasi. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah dunia yang meningkatkan proses globalisasi antara lain adalah: a. Ekspansi Eropa dengan navigasi dan perdagangan. b. Revolusi industri yang mendorong pencarian pasaran hasil industri. c. Pertumbuhan kolonialisme dan imperialisme. d. Pertumbuhan kapitalisme. e. Pada masa pasca Perang Dunia II meningkatlah teleko- munikasi serta transportasi mesin jet.

Menurut pendapat krsna (pengaruh globalisasi terhadap pluralisme Kebudayaan Manusia dinegara berkembang. Internet.public jurnal.september 2005) Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi.

Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI), Habelino Revolter Sawaki. “Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.

Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa,” Ungkap Habelino.


Bab I

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme

A. Pengertian nasionalisme

Berbicara tentang nasionalisme, tentunya berarti sangat luas, tergantung pada aspek pendekatannya. Dalam pendekatan budaya, nasionalisme terkait dengan suku bangsa sebagai kondisi dasar untuk membangun bangsa (nation) dan kebangsaan indonesia (nationalism). Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan biasanya juga disebut nasionalisme, sebagai dimensi sensoris yang tidak lain adalah kebudayaan (saifudin, 2006). Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tidak terlepas dari nation sendiri. Ernest dalam tulisannya yang terkenal what is nation? Menjelaskan nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan. Suatu bangsa dasarnya adalah suatu komunitas sosial politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas sekaligus berkedaulatan. Pada masing-masing komunitas itu masing-masing anggotanya belum tentu saling mengenal satu sama lain, tetapi dibenak setiap anggotanya hidup tentang kebersamaan dan persaudaraan.

Sementara itu, pengertian nasionalisme menurut ernest gellner dalam eriksen (1993) adalah suatu prinsip politik yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang. Konsep dan pengertian tersebut meskipun berbeda perspektif, akan tetapi semuanya menekankan bahwa bangsa adalah suatu konstuksi ideologi yang tampak sebagai pembentuk garis antara kelompok budaya dan state (negara). Lebih lanjut menurut gellner, nasionalisme adalah suatu bentuk munculnya sentimen dan gerakan patriotisme yang secara psikologis merupakan suatu bentuk antipati atau ungkapan marah, benci, dan lain sebagainya terhadap kolonial. Sebaliknya menurut H. Kohn nasionalisme adalah suatu “a sense of belonging”. Pengertian laing dari nasionalisme dapat disebut sebagai “sicial soul” (K. Lamprecht, 1920) dalam kartodirdjo (1972).

Dari berbagai penertian diatas tidak ada perbedaan yang mendasar, tetapi justru menunjukan kecenderungan persamaan. Nasionalisme sebagai suatu bentuk respon yang bersifat sosio psikologis tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi lahir dari suatu respons secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yang mendahuluinya yaitu imperialisme (kolonialisme). Didunia ketiga terutama di Asia, Afrika, serta benua Amerika Latin berkembang satu tipe patriotisme. Dikawasan ini, termasuk indonesia muncul tipe patriotisme dan nasionalisme yang sangat dimotivasi dan diwarnai oleh semangat anti kolonialisme. Dengan perkataan lain dapat ditegaskan bahwa patriotisme atau nasionalisme di dunia Ketiga termasuk Indonesiahampir identik dengan aksi, gerakan dan proses dekolonisasi. Mengidentifikasikan patriotisme dan nasionalisme sebagai gerakan antikolonial tidak berarti bahwa motivasi-motivasi lain seperti anti imperialisme tidak berperan, tetapi semangat antikolonial merupakan semangat antikolonial merupakan motif utama yang membakar semangat para patriot untuk berjuang dan bersedia berkorban. Dengan demikian, dapat dipahami bahea patriotisme itu sudah mulai bersemi sejak kelahiran rezim kolonial dengan segala implikasinya diberbagai bidang; ekonomi, politik, budaya dan sosial mendominasin kehidupan bangsa Indonesia. Keseluruhan praktek dan dominasi kolonial yang pada prinsipnya merupakan perilaku eksploitatif dan diskriminatif yang dianggap telah menghasilkan kesadaran sejarah dikalangan bumi putera khususnya dan sejumlah orang belanda sendiri yang memandang kolonialisme secara objektif atau dari kacamara kaum terjajah (sartono kartodirjo,1992). Lebih lanjut dikemukakan oleh kartodirjo, secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan,

Pertama aspek cognitive, yaitu menunjukan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena, dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada segala porsinya.

Kedua, aspek goall/ value orientation, yaitu menunjukan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya; dalam hal ini yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga untuk memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme.

Aspek ketiga, adalah affective dari tindakan kelompok yang menunjukan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakunya, misalnya berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial melahirkan aspek affective tesebut.

Berdasarkan berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme sebagai identitas bukanlah situasi yang bentuk dan wujudnya bersifat statis. Nasionalisme merupakan kondisi dinamis yang terus-menerus dibangun dengan makna baru pada setiap kesempatan melalui proses yang melibatkan seluruh bagian anak bangsa. Nasionalisme dengan setting kolonialisme berikut keseluruhan kebijakan dan praktek serta eksesnya di Hindia belanda pada saat itu, tentu berbeda dengan nasionalisme pada masa sekarang. Dalam tataran yang lebih praktis, nasionalisme indonesia bukan lagi memanggul senjata dengan semangat merdeka atau mati. Nasionalisme indonesia juga bukan seperti semboyan terkenal dari perdana menteri Britania Raya, Disraeli, “ benar atau salah, negeriku selalu benar”. Arah nasionalisme Indonesia, menurut Mangunwijaya, akan berkembang denga mengambil sumber dari semangat dasar nasionalisme generasi 1928 pada masa kolonial. Hakikat nasionalisme generasi 1928 merupakan perjuangan dari generasi yang terbelenggu penjajahan, tertindas, miskin kemerdekaan dan hak menentukan diri sendiri dan ditujukan ke arah lawan asing dari luar. Singkatnya “nasionalisme” merupakan produk dari sejarah bangsa itu sendiri. Sebgaimana dikemukakan oleh sartono kartodirdjo (1972) bahwa nasionalisme sebagia fenomena historis, timbul sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik ekonomi dan sosial tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan adalah munculnya kolonialisme dari suatu negara terhadap negara lainnya. Hal ini terjadi sebab nasionalisme itu sendiri muncul sebagai suatu reaksi terhadap kolonialisme dan eksploitasi yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus-menerus. Hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang politik, tapi juga dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya seperti yang masih belangsung hingga saat ini.

B. Nasionalisme Bangsa saat kini

Nasionalisme yang hidup dalam pusaran globalisasi, batas-batas geopolitis semakin kabur. Perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan dari nasionalisme tidak hanya diarahkan ke pihak-pihak asing tetapi juga ke dalam negeri sendiri. Nasionalisme pada masa kini dalam negeri sendiri. Nasionalisme pada masa kini merupakan perjuangan untuk meniadakan segala eksplotasi manusia oleh siapa pun, dari manapun dan dalam bentuk apapun. Wujud nasionalisme pada masa kini juga dapat dilakukan melalui berkarya dan membangun negeri ini. Tetapi, hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena berbagai peristiwa dan kejadian sehari-hari yang dilakukan oleh para pemimpin negeri ini tidak memberikan keteladanan bagi generasi muda sebagai generasi penerus bangsa.

Kini nasionalisme bangsa terasa kian menurun, karena maraknya praktek negatif kekuasaan. Mulai dari buruknya kinerja serta rusaknya etika birokrat, elite politik. Para penegak hukum sampai pada “pembagian kur pembangunan” yang tidak adil telah mengakibatkan makin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial di dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara. Masyarakat tidak memilki panutan dalam bertindak dan kohesi sosial bangsa semakin memudar. Padahal kepercayaan dan kohesi sosial merupakan modal terpenting dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil jejak pendapat yang dilakukan oleh litbang kompas dalam rangka ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Studi yang dilakukan sampai tahun ini menunjukan bahwa pada tahun 2002 rasa kebanggaan menjadi orang Indonesia masih cukup besar. Hanya sekitar 5 persen responden yang menyatakan “tidak merasa bangga” menjadi orang indonesia, pada tahun 2003 persentasenya semakin meningkat menjadi 10 persen den meningkat lagi pada tahun 2005 menjadi sekitar 23 persen. Pada tahun ini sekitar 33 persen. Artinya kebanggaan menjadi orang indonesia semakin menurun. Demikian pula penilaian responden terhadap beberapa aspek kehidupan bangsa saat ini. Sekitar 63 persen merasa malu dengan situasi perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat saat ini. Sekitar 32 persen tidak mempunyai kepercayaan terhadap pemerintah terhadap pemerintah dan 44 persen tidak mempunyai kepercayaan terhadap pemerintah dan 44 persen tidak mempunyai kepercayaan terhadap Lembaga Perwakilan Rakyat (MPR dan DPR serta DPD). Demikian pula terhadap rasa kemerdekaan yang dimiliki oleh sebagian besar responden, yaitu 62 persen menyatakan bahwa indonesia belum merdeka dari tekanan bangsa lain (Kompas, 14 Agustus 2006).

Walaupun penjajahan secara langsung telah berakhir sejak kemerdekaan RI pada tahun 1945, namun independensi dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa tetap menjadi tantangan yang belum selesai. Ditengah globalisasi dan pasar bebas, determinasi asing atas bangsa Indonesia masih berlangsung. Tetapi, tidak waktu untuk bisa memilih untuk pro atau kontra terhadap globalisasi. Bagi nasionalisme pada masa sekarang, globalisasi merupakan proses sejarah yang tak terelakkan. Kita tidak mungkin lari apalagi menolak serta menghentikan proses globalisasi. Dengan demikian yang lebih penting adalah bagaimana “mengawal” globalisasi supaya menjadi manusiawi.


Bab II

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk kedalam masyarakat terutama dikalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahanyang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Padahal cara berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan menggunakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan infomasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari-hari. Jika digunakan semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, adala lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karen aglobalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh diatas dibiarkan, mau apa jadinya generasi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubaungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki nasionalisme?

A. Pengaruh Positif Dan Negatifnya Sebuah Globalisasi Serta Langkah Antisipasinya

a) Dampak Positif

Ada beberapa pengaruh positif globalisasi terhadap nilai-nilai nasionalisme.

Pertama, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

Kedua, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

Ketiga, kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

b) Dampak Negatif

Meski demikian, Habelino berpendapat globalisasi juga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap nilai-nilai nasionalisme.

Pertama, globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.

Kedua, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut, dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia”, ungkap Habelino yang juga mantan Presiden Mahasiswa Universitas Cenderawasih.

Ketiga, mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

Keempat, adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa. Kelima, munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga.

Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa. “Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa,” ungkapnya.

c) Cara Antisipasinya

Berdasarkan analisa dan uraian tersebut, menurut Habelino, pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

Langkah Antisipasi Habelino berpendapat perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai-nilai nasionalisme.

Pertama, menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.

Kedua, menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.

Ketiga, menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

Keempat, mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.

Kelima, Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Habelino berharap, dengan adanya langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

Bab II

Pengaruh globalisasi pada perekonomian

Globalisasi ekonomi salah satunya ditandai dengan munculnya pasar bebas antar negara. Masuknya produk-produk luar negeri ke Indonesia, serta adanya pasar bebas, sungguh sangat memberikan pengaruh besar pada perjalanan perkonomian indonesia dan jiwa kebangsaan.

Globalisasi ekonomi ini sesungguhnya didukung oleh sebuah kekuatan yang luar biasa hebatnya, yaitu apa yang disebut liberalisme ekonomi, yang sering juga disebut kapitalisme pasar bebas. Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa. Kapitalisme ini mempunyai tiga ciri pokok, yaitu pertama, sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; kedua, barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas yang bersifat kompetitif; ke tiga, modal diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba. Dalam perkembangannya sistem kapitalisme ini berkembang tidak sehat, karena timbulnya persaingan tidak sehat dan mengabaikan unsur etika dan moral. Dimana yang modalnya kuat akan menguasai yang modalnya lemah, akhirnya Pemerintah harus ikut mengaturnya.

Bagi negara-negara berkembang, hal tersebut jelas akan sangat merugikan, karena produk dalam negerinya tidak akan mampu bersaing dengan produk negara maju. Selain itu, bagi masyarakat, yang mengikuti pola hi- dup yang konsumtif, akan langsung menggunakan apa saja yang datang dari negara lain, karena barangkali itu yang di- anggap paling baik, juga sebagai pertanda sudah memasuki kehidupan yang modern. Jika dilihat dari kacamata yang positif, maka globalisasi akan mempunyai dampak yang menyenangkan, karena dengan globalisasi di bidang ekonomi, orang akan secara mudah memperoleh barang konsumtif yang dibutuhkan, membuka lapangan kerja bagi yang memiliki keterampilan, dapat mempermudah proses pembangunan industri, juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.


Bab III

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Sosial Budaya

Dalam bidang sosial dan budaya, dampak globalisasi antara lain adalah meningkatnya individualisme, perubahan pada pola kerja, terjadinya pergeseran nilai kehidupan dalam masyarakat. Saat ini di kalangan generasi muda banyak yang seperti kehilangan jati dirinya. Mereka berlomba-lomba meniru gaya hidup ala Barat yang tidak cocok jika diterapkan di Indonesia, seperti berganti-ganti pasangan, konsumtif dan hedonisme. Namun di sisi lain globalisasi juga dapat mempercepat perubahan pola kehidupan bangsa. Misalnya melahirkan pranata-pranata atau lembaga-lembaga sosial baru seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi dan pasar modal. Perkembangan pakaian, seni dan ilmu pengetahuan turut meramaikan kehidupan bermasyarakat

Bab IV

Pengaruh Globalisasi Terhadap Kehidupan Berpolitik

Dalam bidang politik, dampak globalisasi antara lain adalah dengan perubahan sistem kepartaian yang dianut, sehingga memunculkan adanya partai baru-partai baru; kesadaran akan perlunya jaminan perlindungan hak asasi manusia HAM), terjadinya perubahan sistem ketatanegaraan, pelaksanaan pemilihan umum untuk anggota–anggota parlemen, pemilihan Presiden dan Wapres, Pemilihan Gubernur dan Wagub serta pemilihan Bupati dan Wabup/ Walikota dan Wakil Walikota yang dilaksanakan secara langsung.

Tetapi kita harus waspada karena adanya perubahan tersebut akan menimbulkan pertentangan dalam masyara­kat, karena tidak semuanya masyarakat kita berpendidi­kan. Selain itu perubahan yang terjadi tidak selalu cocok jika diterapkan di Indonesia. Hal ini akan bisa mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa kita.


Kesimpulan

Globalisasi adalah bentuk kemajuan peradaban dunia yang tidak bisa dihindari tapi mesti disiasati, terutama bagi bangsa Indonesia. Nasionalisme akan cepat terkikis jika kita tidak bisa mensiasati perkembangan gloalisasi itu. Dalam globalisasi terdapat aspek negatif dan positif. Tugas kita memaksimalkan nilai positif itu, tanpa meninggalkan jiwa nasionalisme kita.

Maka dengan menjalankan 5 saran Hebelino kita bisa tetap memelihara jiwa nasionalisme kita

Pertama, menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.

Kedua, menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.

Ketiga, menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

Keempat, mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.

Kelima, Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.


Daftar Pustaka

Jumat, 09 April 2010

NASIONALISME SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ENTREPRENEUR


Oleh:
Milki Rijal Ashari
1209018 - Tehnik Informatika


I. PENDAHULUAN
Memasuki abad XXI bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan krusial pada berbagai segi kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Tingkat kemiskinan dan pengangguran menunjukkan tren semakin tinggi (tahun 2005, 15.97 %, 2006, 17.75 %) dunia industri yang begitu didewakan sebagai soko guru pembangunan sepanjang Orde Baru begitu rapuh, demikian juga fenomena disintegrasi merebak dimana-mana menjadi tontonan yang semakin jelas untuk kita saksikan. Banyak ahli berpendapat, bahwa sistem ekonomi kapitalis yang monopolistik yang telah menggurita di Indonesia itulah penyebab utama terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, diperparah dengan kondisi begitu rapuhnya jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa.
Sebenarnya sejak tahun 1970-an telah banyak kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis, karena dipandang tidak mampu mensejahterakan umat manusia secara adil dibanyak negara di dunia bahkan justru menciptakan keterbelakangan dan ketergantungan. Kondisi keterbelakangan antara lain merupakan produk historis hubungan negara kolonial dengan negara terjajah, negara miskin dengan negara maju. Selain itu adanya polarisasi hubungan satelit-metropolis merupakan sebab langsung keterbelakangan karena hubungan itu menyebabkan terbangunnya mekanisme pengambilan surplus oleh negara pusat dari negara satelit. Akan tetapi penguasa Indonesia pada periode itu justru ikut “bermain” dalam ekonomi “kapitalis yang monopolistik” sebagaimana tercermin dari produk hukum berupa UU No. 5/ tahun 1967 tentang Kehutanan. Menyertai implementasi UU ini adalah pemberian hak-hak pada pemodal luar negeri maupun dalam untuk memanfaatkan hutan sebagai areal industri. Untuk itu ada Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), UU No. 11/ 1967 tentang Pertambangan. Sebagai implementasi dari UU ini ada Kontrak Karya Pertambangan dan lain-lain, yang memberi peluang pemodal mengekplorasi dan mengeksploitasi potensi pertambangan kita, disusul juga UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan sebagainya.
Baru pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto mencanangkan gerakan Kebangkitan Kebangsaan Nasional II (gerakan nasionalisme II). Tampaknya ada beberapa isu penting dibalik pencanangan gerakan itu. Pertama, secara eksplisit Presiden Suharto ingin menggelorakan kembali semangat nasionalisme yang menunjukkan fenomena memudar yang diindikasikan oleh apatisme dan frustasi massa yang meluas sebagai akibat dari kerapuhan-kerapuhan dalam pembangunan ekonomi dan politik selama kekuasaannya. Melalui gerakan kebangkitan nasionalisme II itu ia ingin mendapatkan dukungan lebih kuat dari semua elemen bangsa. Kedua, secara implisit pencanangan gerakan itu sangat terkait dengan upaya Presiden Suharto dalam membangun merek diri (personal branding) dan merupakan manifestasi dalam upayanya untuk memperkuat legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.
Realitasnya gerakan itu hanya menyentuh tataran retorika, tidak pernah berhasil menyentuh pada tataran subtansi dari kehidupan rakyat banyak, sehingga sama sekali tidak berpengaruh terhadap kebangkitan nasionalisme II. Pertanyaannya adalah mengapa upaya untuk menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasioalime bangsa Indonesia, sulit untuk dilakukan. Apakah ada yang salah dari kondisi dan cara berfikir bangsa Indonesia dewasa ini sehingga sulit diajak melakukan manufer menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasionalisme dalam rangka melakukan loncatan historis untuk mencapai perkembangan yang spektakuler sebagaimana yang terjadi pada awal abad XX. Untuk itu tulisan ini akan memaparkan beberapa permasalahan yang menarik; pertama, bagimana perkembangan nasionalisme Indonesia pra kemerdekaan yang bergerak dari skala etnisitas ke arah kerakyatan (populist) dan kebangsaan (nationality); kedua, mengapa upaya menggelorakan kembali nasionalisme dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini begitu sulit dilakukan; ketiga, bagaimana pentingnya nasionalisme sebagai landasan bagi pengembangan entrepreneur.

II. METODE
Dalam mengkaji nasionalisme dan landasan pengembangan entrepreneur digunakan metode sejarah. Menurut Garraghan, metode sejarah merupakan seperangkat aturan dan prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesa hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Sementara itu Gottschalk mendefinisikan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Dalam menerapkan metode sejarah ini ada empat langkah kegiatan yang dilakukan, yaitu; (1) Heuristik, yaitu pengumpulan sumber baik berupa sumber primer (arsip, dokumen, dll.) maupun sumber sekunder (jurnal, buku), (2) Kritik, intern dan ekstern terhadap sumber sejarah yang diperoleh (penilaian kritis terhadap sumber sejarah yang berguna untuk memastikan apakah data/sumber yang ditemukan asli/otentik ataukah palsu dan apakah data tersebut dapat dipercaya/kredibel atau bohong), (3) Interpretasi yang merupakan analisis dan sintesis terhadap fakta-fakta yang telah ditemukan dari sumber sejarah yang dalam penelitian sosiologi disebut analisa data, (4) Historiografi, yaitu kegiatan merekonstruksi peristiwa masa lampau dalam bentuk kisah sejarah yang harus dituangkan secara tertulis.

III. PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan Nasionalisme Indonesia Periode Pra Kemerdekaan
Tumbuhnya nasionalisme Indonesia berkaitan erat dengan sistem politik kolonial Belanda yang memposisikan bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah yang harus dikuasai dan dieksploitasi segala sumberdaya yang dimilikinya. Pada waktu itu kriteria etnik dan ras dijadikan dasar dari struktur hukum dalam masyarakat kolonial Indonesia. Sebagaimana tercermin pada pasal 109 Peraturan Pemerintah (Regeerings-reglement) tahun 1854, diadakan pembedaan antara “Orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan” di satu pihak dan “pribumi” di pihak lain. Pada awalnya kategori “pribumi” mencakup orang-orang Cina, Arab dan sebagainya, tapi dalam perkembangannya mereka dipisahkan mejadi kelompok sendiri dengan sebutan “Timur Asing” yang menduduki kelas kedua setelah kelompok Eropa, sedangkan bangsa Indonesia ditempatkan pada kelas terendah. Kiranya kondisi struktural ini secara kultural telah menjadikan bangsa Indonesia mengindap minderwaardigheids-complex, semacam sindrom rendah diri yang kronis.
Selain itu pemerintah kolonial selalu berusaha memperkuat hegemoni kekuasaan secara politik. Dalam hal ini posisi negara dan rakyat cenderung berhadap-hadapan, sehingga situasi konflik menjadi sesuatu yang laten. Kekuatan kolonial memperkuat posisi negara kolonial, sedangkan posisi rakyat terjajah semakin diperlemah. Proses penguatan negara kolonial (strengthening of the colonial state) ini berlangsung sepanjang abad XIX dan mencapai puncaknya pada perempat akhir abad itu ketika berlangsung proses birokratisasi pemerintahan di Hindia Belanda/Indonesia.
Proses penguatan negara kolonial itu berjalan seiring dengan ekspansi ekonomi. Bahkan dapat dikatakan, bahwa penguatan negara kolonial itu pada dasarnya dalam rangka untuk melakukan ekspansi ekonomi. Suatu kondisi yang kontradiktif, jika di negeri induk Belanda memberi kebebasan rakyat dan dunia swasta, sebaliknya di negeri koloni pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang intervensionis baik dalam politik maupun ekonomi. Dalam konteks ini daerah koloni dalam posisi sebagai daerah eksploitasi (wingewest) yang harus mendatangkan keuntungan bagi negeri induk. Jadi fungsi negeri jajahan hanya sebagai sapi perahan. Melalui masuknya modal swasta Eropa ke Indonesia berkembang industri di berbagai sektor baik pertanian, perkebunan maupun pertambangan. Berkaitan dengan itu lahir kebijakan ekonomi politik yang sangat eksploitatif seperti tanam paksa, kerja rodi dan lain lain. Oleh karena itu potret masyarakat Indonesia pada waktu itu berada dalam penderitaan multidimensi, yaitu secara kultural terhina, secara politik terbelenggu dan secara ekonomi tereksploitasi.
Demikian juga program Politik Etis yang diusung pemerintah kolonial pada awal abad XX yang secara retorik ditujukan untuk “membalas budi” masyarakat jajahan dengan mensejahterakan, tidak lebih sebagai alat bagi pemerintah kolonial untuk meneguhkan kembali kekuasaannya atas masyarakat koloni yang seperempat abad terakhir dalam hisapan pemodal swasta Eropa. Dalam kerangka politik etis ini, negara yang menentukan konsep kesejahteraan secara ekonomi maupun politik dengan membangun persepsi, bahwa rakyat sebagai kawulo dan pemerintah sebagai gusti yang “berwenang” untuk menjadi pangreh praja (yang memerintah negara). Tidak berlebihan jika bersamaan dengan pelaksanaan politik etis ini diiringi dengan ekspansi dan penaklukan yang brutal atas daerah-daerah koloni antara lain seperti Aceh, Lombok, Bone, Seram dan lain lain.
Menghadapi penderitaan multidimensi tersebut, bangsa Indonesia dari perbagai daerah koloni selalu melakukan perlawanan (resistens) dan resistensi ini telah menjadi bagian yang integral dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk itu sepanjang abad XIX banyak dijumpai aneka macam bentuk perjungan bangsa Indonesia untuk membebaskan belenggu kolonial, perlakukan yang diskriminatif maupun perampasan kemakmuran baik dalam skala kecil maupun skala besar seperti perang Aceh, perang Padri, perang Diponegoro, perang Pattimura. Berbagai perjuangan itu jelas masih bersifat lokal kedaerahan dan nasionalisme belum terbentuk secara konkrit.
Nasionalisme Indonesia mulai muncul dalam bentuk yang konkrit pada abad XX di mana nasionalisme muncul sebagai bagian dari proses berlangsungnya wacana intelektual sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pendidikan moderen sejak akhir abad XIX. Pada tahap awal, benih-benih nasionalisme masih banyak diwarnai oleh perasaan etnisitas atau kesukuan yang tinggi. Budi Utomo sendiri yang dianggap sebagai organisasi pergerakan nasional yang pertama di Idonesia, pada awalnya lebih memiliki perhatian pada etnik Jawa (dan Madura). Demikian juga para pemuda, yang secara umum memiliki semangat pembaharuan dan revolusioner, pada waktu itu juga masih terkotak-kotak dalam organisasi yang berbasis etnik dan kedaerahan serta ikatan primordial seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamiten Bond, dan sebagainya. Perasaan kesukuan dan kedaerahan serta keagamaan ini pula yang menjadi salah satu penyebab gagalnya Konggres Pemuda I. Prasangka kesukuan masih cukup mewarnai wacana interaksi sosial diantara kelompok pada waktu itu. Barangkali apa yang dibayangkan oleh sebagian dari pemuda pada waktu itu bukan nation-state sebagaimana yang kemudian terbentuk, tetapi lebih mendekati kepada konsep ethno-nation yaitu kebangsaan yang dibangun atas kesamaan etnik.
Pada tahap perkembangan berikutnya, nasionalisme dengan corak kerakyatan dan kebangsaan cukup menonjol. Corak kerakyatan dapat dijumpai pada organisasi Sarekat Islam (SI). Pada awalnya SI merupakan suatu gerakan kaum menengah Islam yang menentang dominasi kaum pedagang Cina. Namun demikian dalam proses selanjutnya SI berkembang menjadi gerakan kerakyatan yang membela kaum pribumi yang mayoritas Islam dari penindasan kolonialisme. Proses radikalisasi SI terjadi sejalan dengan interaksi ideologis antara Islamisme dan Komunisme. Banyak tokoh SI yang memiliki simpati dengan metode perjuangan ala komunis menjadi tokoh-tokoh kerakyatan yang radikal bukan hanya dalam melawan kolonialisme tetapi juga feodalisme yang juga dipandang memiliki sifat menindas rakyat.
Sementara itu nasionalisme yang bercorak kebangsaaan antara lain dapat dijumpai pada organisasi Indische Partiij dan PNI. Munculnya kesadaran “kebangsaan Indonesia” tentu berkaitan dengan semakin banyaknya kaum terpelajar yang lahir dari “pendidikan kaum tertindas”. Dengan kemampuan dan kesempatan yang diperolehnya, mereka bisa mengikuti perkembangan kapitalisme dan kolonialisme yang sedang mengalami kekalutan. Mereka melihat bahwa nasionalisme yang akan melahirkan negara bangsalah yang akan mampu menggantikan kedudukan dan peran negara kolonial.
Nasionalisme Indonesia periode pra kemerdekaan dapat dikatakan telah berhasil dalam mengantarkan kepada proses formasi bangsa Indonesia yang berpuncak pada Proklamsi 17 Agustus 1945. Hal itu karena nasionalisme benar-benar menjadi jiwa dan semangat dari segenap derap perjuangan bangsa Indonesia yang diekspresikan melalui berbagai organisasi pergerakan nasional. Organisasi-organisasi pergerakan nasional pada waktu itu betul-betul aktual sesuai dengan kondisi masyarakat dan para tokoh memiliki kemandirian dan kemampuan mengartikulasikan dan “merealisasikan” cita-cita masyarakatnya.

3.2. Nasinalisme Dan Kemandirian Bangsa
Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi yang meletakkan kecintaan, kesetiaan dan komitmen tertinggi pada negara kebangsaan. Unsur utama yang terkandung dalam konsep nasionalisme itu adalah keinginan untuk hidup bersama sebagai suatu komunitas bangsa yang memiliki tujuan dan cita-cita yang hendak diraih bersama. Dengan demikian pemikiran dan tingkah laku seorang nasionalis senantiasa didasarkan pada kesadaran menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa dan berorientasi pada pencapaian tujuan bersama sebagai bangsa.
Sebagaimana telah disinggung nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai respon atas kolonialisme. Kesamaan nasib sebagai sesama kaum terjajah merupakan suatu ikatan kuat diantara etnik-etnik di Indonesia untuk menjalin ikatan perjuangan, sedangkan keinginan untuk merajut masa depan yang lebih gemilang mendorong untuk membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai manifestasi dari nasionalisme. Suatu hal yang luar biasa adalah nasionalisme ini mencapai tingkatan tertinggi dengan dirumuskannya hal itu secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu berkehendak membangun suatu negara bangsa (nation-state) yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.
Persoalannya adalah setelah Indonesia merdeka, masih perlukah nasionalisme itu dimiliki oleh bangsa Indonesia, untuk kepentingan apa, dan dalam bentuk yang bagaimana. Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan daerah bekas koloni Belanda memiliki wilayah yang sangat luas yaitu sekitar 587.000 km2, jarak dari barat ke timur lebih panjang dari pada jarak antara London dan Siberia. Wilayah itu merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau besar dan kecil yang dihuni oleh ratusan suku bangsa. Dengan kondisi objektif yang demikian itu, agar Indonesia tetap eksis sebagai negara yang merdeka dan berdaulat tentu mutlak tetap diperlukan nasionalisme, meskipun dalam bentuk yang fleksibel kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan tantangan pada jamannya.
Ir. Soekarno sebagai salah seorang founding father dan Presiden pertama negara RI, selama masa kekuasaannya ideologi nasionalisme diarahkan untuk mendesain suatu nation state dengan fundamen nation and character building. Kebijakan-kebijakannya sangat nasionalistik dan berkarakter untuk membangun kemandirian bangsa dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan seperti yang diamanatkan dalam bagian Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut juga tercermin dari perlawanannya yang gigih terhadap kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa nasionalisme yang dibangun dan digelorakan Soekarno berhasil memadukan relasi masyarakat-negara ke dalam ikatan solidaritas sosial yang berhasil meleburkan sekat-sekat primordialisme sebagai penggerak persatuan bangsa.
Dalam pandangan Soekarno, nasionalisme adalah dasar untuk membangun kemandirian bangsa dan kemandian bangsa adalah modal utama untuk mewujudkan cita-cita kemedekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis. Program-program yang diarahkan untuk itu antara lain “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri pribumi dari tekanan kekuatan non pribumi. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tidak terbatas secara ekonomi, tetapi juga politik. Oleh karena itu pada era Soekarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, PRRI/PERMESTA, RMS, OPM, dan sebagainya. Bahkan dari hal ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan di negara-negara bekas koloni di kawasan Asia Afrika (AA), karena mampu tampil sebagai pelopor dalam gerakan AA, gerakan Non Blok, Nefo, dan lain- lain.
Memasuki era Soeharto bahkan hingga dewasa ini, nasionalisme dan kemandirian bangsa seakan “tergadaikan”, tidak jelas bentuk dan fungsinya, sehingga tampak jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selama orde baru kebijakan penguasa lebih diletakkan pada ideologi “developmentalism” yang bergerak ke arah formula administrative-state, sehingga lahirlah monopoli negara di satu sisi dan pemisahan negara dan masyarakat pada sisi yang lain. Kebijakan pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ekonomi kelompok ekonom yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang bekerja dengan tim penasehat asing (Amerika dan Badan Internasional atau Transnasional Corporation). Dengan kondisi yang demikian, Indonesia telah menjerumuskan diri dalam pusaran kekuatan ekonomi kapitalis dan ikut “bermain” dalam ekonomi “kapitalis yang monopolistik”. Dalam konteks yang demikian tentu sulit bagi kita untuk dapat menemukan aktualisasi dari jiwa dan semangat nasionalisme dan mustahil kita dapat memiliki kemandirian sebagai bangsa.
Tidak berlebihan jika kemudian kita simpulkan, bahwa nasionalisme dan kemandirian bangsa Indonesia hingga dewasa ini sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan kemudian terjerat dalam skenario ekonomi “kapitalis yang monopolistik”, melainkan telah sangat pandai ikut “bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain. untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia yang dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan, kemiskinan dan kehancuran masyarakat lokal yang menjadi bagian integral dari masyarakat nasional (bangsa Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai bangsa tidak lagi cukup kuat memiliki nasionalisme dan kemandirian. Ini adalah fakta aktual yang harus kita hadapi dan sikapi secara kritis sebagai anak bangsa.
Sebagaimana kita ketahui Freeport adalah korporasi milik Amerika Serikat yang telah mengangkangi tambang emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur lebih dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton perak. Selama 30 tahun lebih dan belum lama diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi kekayaan itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun. Sebagai kompensasinya Freeport hanya memberi bagi hasil (profit sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat bersih di luar pajak. Oleh karena itu kita dapat menyaksikan apa yang terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki akses pendidikan, 35,5 % tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, dan lebih dari 70 % hidup tanpa air bersih. Data HDI (Human Development Index) 2004 menunjukkan, Papua menempati urutan ke-212 (terutama mereka yang tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari 300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi kerusakan ekologi yang sangat parah yang tidak mungkin dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.

3.3. Nasionalisme Sebagai Landasan Pengembangan Jiwa
Entrepreneur
Bertitik tolak dari fakta aktual, bahwa kita sebagai bangsa berada dalam kondisi krisis multidimensi, maka menjadi keharusan untuk menggelorakan kembali nasionalisme terutama di kalangan mahasiswa yang merupakan golongan intelektual kader penerus pemimpin bangsa. Dalam kehidupan ekonomi, secara nyata kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki kemandirian apalagi kedaulatan, sehingga krisis ekonomi yang berlangsung tidak ada prospek kapan akan berakhir. Salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia adalah banyaknya para pebisnis atau entrepreneur Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Mereka kurang memiliki rasa “handarbeni” keberadaan bangsa Indonesia dan keutuhan tanah air Indonesia. Oleh karena itu banyak pengusaha melarikan uangnya ke luar negeri, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan tindakan bisnis lain yang merugikan negara dan masyarakat termasuk pembalakan hutan secara liar yang terjadi akhir-akhir ini dalam kasus Edelin Lis.
Sesungguhnya upaya-upaya untuk membangun “ekonomi nasionalistik”, artinya pembangunan ekonomi yang didasari atas semangat kebangsaan dan cinta tanah air sudah diupayakan oleh pemerintah republik Indonesia segera setelah kemerdekaan. Pada waktu itu, dalam ranah entrepreneurship, masih ada pembedaan tajam antara pengusaha pribumi dan non pribumi. Kolonialisme telah mewariskan kehancuran jiwa entrepreneurship kaum pribumi dan sebaliknya memberikan kesempatan yang luas kepada kaum non pribumi. Akibatnya pengusaha pribumi tidak memiliki banyak pengalaman yang signifikan dalam berbisnis. Demikian juga para ekonomom pribumi juga tidak memiliki pengalaman mengatur perekonomian negara. Apa yang terjadi kemudian adalah masuknya korporasi-korporasi asing yang kemudian diintegrasikan dalam kebijakan ekonomi politik nasional yang kurang berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Terjadilah praktek-praktek KKN antara penguasa dan pengusaha. Pada akhirnya dominasi ekonomi Indonesia merdeka jatuh ke tangan pengusaha non-pribumi. Program “perlindungan” pemerinah seperti Program Benteng akhirnya hanya menjadi selubung bagi praktek kolusi yang terkenal dengan “Ali-Baba”.
Saat ini kita masih mewarisi kondisi sebagaimana yang digambarkan di atas, meskipun dikotomi antara pengusaha pribumi dan non-pribumi sudah semakin meluntur. Persoalannya adalah bahwa saat ini nasionalisme dan patriotisme, tampak sudah tidak lagi menjadi jiwa para entrepreneur. Apalagi saat ini terjadi kemerosotan perasaan nasionalisme di berbagai kalangan dalam masyarakat. Dengan demikian penanaman rasa nasionalisme dan patriotisme di kalangan entrepreneur sangat diperlukan. Dengan nasionalisme, karya usaha anak bangsa akan lebih bermakna, dan harapan untuk kembali pada upaya menggapai cita-cita kemerdekaan bisa dicapai. Jika nasionalisme tidak dijadikan landasan bagi pengembangan jiwa entrepreneur, kita sebagai bangsa akan sulit untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.

V. KESIMPULAN
Persoalan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah semakin tergerusnya jiwa dan semangat nasionalisme yang kemudian berimplikasi pada rapuhnya sendi-sendi berbagai segi kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Padahal jika mau belajar dari sejarah, sudah menjadi fakta otentik bahwa nasionalisme dapat menjadi senjata pamungkas dalam menghadapi kekuatan yang bertujuan mencerai beraikan potensi bangsa baik ketika Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing (periode kolonial hingga masa pendudukan Jepang) maupun setelah merdeka ketika dalam ancaman gerakan separatism (DI/TII, PRRI/PERMESTA, RMS, OPM, dan sebagainya). Juga ketika melancarkan program “Berdikari” yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor, dan program “Benteng” yang mampu menghidupi dan melindungi industri pribumi dari tekanan kekuatan non pribumi, serta program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Oleh karena itu dalam menghadapi persoalan-persoalan akut dalam semua aspek kehidupan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, kiranya masih sangat diperlukan nasionalisme dalam bentuk dan corak yang sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang ada.
Terlebih dengan adanya kecenderungan nasionalisme dan kemandirian bangsa seakan “tergadaikan”, tidak jelas bentuk dan fungsinya, sehingga tampak jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Fenomena dalam kehidupan ekonomi jelas secara nyata tampak kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki kemandirian apalagi kedaulatan, sehingga krisis ekonomi yang berlangsung tidak ada prospek kapan akan berakhir. Kiranya salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia adalah banyaknya para pebisnis atau entrepreneur Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Mereka kurang memiliki rasa “handarbeni” eksistensi bangsa Indonesia dan keutuhan tanah air Indonesia. Oleh karena itu banyak pengusaha melarikan uangnya ke luar negeri, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan tindakan bisnis lain yang merugikan negara dan masyarakat luas.

Daftar Pustaka

Baran, P and Sweezy, P. 1970. Monopoly Capital. Harmondsworth: Pelican.
Culley, Lorraine. 1977. Economic Development In Neo-Marxist Theory. Dalam Hindess, Barry. Sociological Theories Of The Economy. London: The Macmillan Press Ltd.
Drake, C. Drake. 1989. National Integration in Indonesia: Patters and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press.
Houben, V.J.H. 2002. Java in the 19 th Century: Consolidation of a Territorial State. Dalam Howard Dick dkk. The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000. Leiden: KITLV Press.
Kohn, Hans.1961. Nasionalisme. Arti Dan Sejarahnya. Djakarta: Pustaka Sardjana.
Lindblad, J. Th. 2002. The Outer Islands in the 19 th Century: Contest for Periphery. Dalam Howard Dick dkk. The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000. Leiden: KITLV Press.
Legge, J.D. 1977. Indonesia. Sydney: Prentice Hall.
Niel, Robert van. 1984. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Dordrecht: Foris Publication.
Subijanto, Bijah. 2006. Wawasan Kebangsaan Konsepsi dan Strategi Pemantapannya. Jakarta: Cet. Makalah Lemhanas.
Walcott, A.S.1914. Java and her neighbors: A travele’s note in Java, Celebes, the Moluccas and Sumatra. New York and London: Knickerbocker Press.
Y. Andaya, Leonard. 1996. Ethnonation, nation-state and regionalism in Southeast Asia. In Proceeding of the International Symposium Southeast Asia: Global Area Studies for the 21 th Century. Japan: Kyoto University.